Senin, 08 Februari 2010

seh jambu karang

Makam Syeh Jambu Karang atau Jambukarang lebih dikenal masyarakat jawa sebagai Ardi Lawet atau Ardilawet. Terletak di puncak gunung Lawet yang masuk kedalam Wilayah Pemerintah Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah,
Silsilah atau asal usul menurut manuskrip Cariyosing Redi Munggul, Pangeran Jambu Karang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman.Raja Pajajaran I. Ketika masa mudanya beliau bernama Adipati Mendang (R. Mundingwangi). Tradisi Sadjarah Padjajaran Baboning Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Prijangan Manondjaja menyebutkan bahwa Jambukarang merupakan raja Pajajaran yang bergelar Prabu Lingga Karang atau Prabu Jambu Dipa Lingga Karang (bdk. Soetjipto, 1986:14-20).Pangeran Jambu Karang ditonjolkan sebagai Raja Sunda yang masih kafir. Kemudian diislamkan oleh Pangeran Atas Angin setelah melalui perang kesaktian yang dimenangkan oleh Pangeran Atas Angin. Kemudian Pangeran Atas Angin menikah dengan putri Pangeran Jambu Karang yang bernama Rubiyah Bekti. Perkawinan mereka melahirkan lima orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring) yang dimakamkan di Rajawana, (2) Mahdum Madem (makamnya di Cirebon), (3) Pangeram Mahdum Omar (makamnya di Pulau Karimun, Jepara), (4) Nyai Rubiyah Raja (makamnya di Ragasela, Pekalongan), dan nyai Rubiah Sekar (makamnya di Jambangan Banjarnegara).

Hubungannya wali Prakosa dengan Syeh Jambu Karang. Pangeran Mahdum Kusen berputra Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil mempunyai dua orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Tores (makmnya di Bogares, tegal) dan (2) Pangeran Wali Prakosa (makamnya di desa Pekiringan, karangmoncol, purbalingga). Pangeran wali Prakosa inilah yang disebut dalam Piagam Sultan demak yang berasal dari tahun Jawa 1503 sehingga ia merupakan tokoh sejarah, sedangkan Pangeran Jambu Karang, Pangeran Atas Angin, Pangeran Mahdum Kusen, dan Pangeran Mahdum Jamil adalah tokoh-tokoh legendaris dari Perdikan Cahyana.

Jumat, 05 Februari 2010

makam sepuh ungaran

Curug Lawe menjanjikan daya pikat untuk menikmati keindahan air terjun dengan pemandangan alami dan udara yang asri, bersih dan segar. Di sebelah barat areal Curug Lawe juga terdapat Curug Benowo yang tidak kalah indahnya dengan Curug Lawe. Diantara kedua curug tersebut terdapat makam yang diyakini sebagai makam Maulana Ihsanudin Alkirom dan Sayyid Abu Bakar Asy-Syakiri yang baru ditemukan pada tahun 2008 oleh pengelola setempat. Peziarah ramai berdatangan pada hari jumat kliwon atau selasa kliwon.

ki gede sebayu tegal

Identitas Kabupaten Tegal dijiwai oleh semangat kejayaan Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah tegal. Sebagaimana tertera dalam buku silsilah raja-raja se-Tanah Jawa. Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan yang bernama Bathara Katong Adipati Ponorogo dan beliau adalah putra ke-22 dari 90 bersaudara, kemudian Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu : Raden Ayu Giyanti Subalaksana itri dari Pangeran Selarong ( Pangeran Purboyo ), dan Ki Gede Honggowono ayah dari Ki Gede Hanggowono Seco Menggolo Jumeneng Tumenggung Reksonegoro Ke-I ( Pertama ) yang dimakamkan di desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru.


Ki Gede Sebayu banyak pengabdiannya pada Pemerintah Kanjeng Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.

Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng Panembahan Senopati untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.

Dengan restu dari Panembahan Senopati, Ki Gede Sebayu pergi ke tlatah Tegal yang diikuti oleh 40 pasangan keluarga terpilih yaitu mereka yang memiliki keahlian di berbagai bidang keterampilan. Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan akhirnya rombongan Ki Gede Sebayu sampai di tepian Kali Gung dan disambut oleh Ki Gede Wonokusumo, yaitu sesepuh dan penanggung jawab makam Pangeran Drajat (Mbah Panggung).


Mengetahui tujuan mulia dari kedatangan Ki Gede Sebayu ke tlatah Tegal yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Ki Gede Wonokusumo dengan tulus ikhlas membantu menata rombongan Ki Gede Sebayu dengan menitipkan keluarga-keluarga dari rombongan itu ke daerah-daerah sepanjang Kali Gung sesuai bidang-bidang keahlian masing-masing dan berakhir di Dukuh Karangmangu Desa Kalisoka ( Kecamatan Dukuhwaru – sekarang ) sesuai bidang keahlian yang dimilikinya.

Kedatangan keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu di masing-masing daerah itu dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan daerahnya. Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat, antara lain : pembudidayaan tanaman pangan, kerajinan emas dan tenun kain selendang. Di bidang kerohanian, didirikan pondok pesantren yang sampai sekarang masih terkenal.


Menyikapi perkembangan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang belum tampak nyata, sedangkan sebagian besar bermata pencaharian tani ladang ( tanah kering ) yang hasilnya kurang menguntungkan.

Ki Gede Sebayu beserta 2 ( dua ) orang pengikut setianya, Ki Sura Lawayan dan Ki Jaga Sura berjalan sepanjang tepi Kali Gung ke selatan sampai di suatu igir gunung selapi. Dan muncullah niat membangun bendungan untuk mengalirkan air dari Kali Gung ke persawahan.

Perkembangan selanjutnya, dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Ki Gede Sebayu beserta pengikut dan masyarakat sekitarnya dalam membendung Kali Gung hingga menjadi sumber pengairan bagi pertanian di daerah sekitarnya yang kemudian disebut Bendungan Danawarih, daerah Tegal yang maju pesat ini, gaungnya sampai ke negeri Mataram.

Kemudian atas jasa-jasa Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah Tegal, oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Panembahan Senopati Sayyidin Penata Gama Ratu Bimantoro di negeri Mataram diangkat menjadi Juru Demang setarap dengan Tumenggung di Kadipaten Tegal pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.

Dengan berpedoman inilah disepakati sebagai HARI JADI KABUPATEN TEGAL dan sekaligus KI GEDE SEBAYU dijadikan tokoh pendiri atau anutan masyarakat Kabupaten Tegal karena:

1. Taat dan taqwa kepada Allaw SWT

2. Sebagai tokoh pembangunan pertama di tlatah Tegal

3. Ki Gede Sebayu adalah pemimpin kharismatik

4. Merupakan cikal bakal pemimpin di tlatah Tegal yang banyak menurunkan Bupati di Kabupaten Tegal dan Brebes.

5. Makam Ki Gede Sebayu di wilayah Kabupaten Tegal yaitu Desa Danawarih...................................

wali pojok blora

MAKAM SUNAN POJOK
Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota Blora, tempatnya di sebelah Selatan alon-alon Kota Blora. Dari data yang diperoleh bahwa makam Sunan Pojok adalah makam SUROBAHU ABDUL ROHIM, ia adalah seorang Perwira di Mataram yang telah berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara ( Tuban). Sekembalinya dari Tuban jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa POJOK ( Blora ). Pangeran SUROBAHU ABDUL ROHIM dikenal pula dengan sebutan Pangeran Pojok, makam tersebut sampai sekarang masih dipelihara dan dihormati oleh masyarakat. Kemudian karen jasanya , maka puteranya yang bernama JAYA DIPA diangkat menjadi Bupati Blora yang pertama ( dinasti Surobahu Abdul Rohom ), setelah wafat digantikan putranya JAYA WIRYA, kemudian JAYA KUSUMA yang keduanya setelah wafat dimakamkan di lokasi makam Pangeran Pojok Kauman. Makam ini sering dikunjungi oleh masyarakat dalam dan luar kota terutama malam Jumat Pon, dan pada Bulan Suro diadakan Khol yang dihadiri peziarah dari berbagai wilayah di Blora....................................................................................................................PMAKAM KH.ABDUL KOHAR
Makam K.H. ABDUL KOHAR, terletak di Desa Ngampel Kecamatan Blora + 10 Km kearah Utara Kota Blora ( jurusan Blora - Rembang ). K.H. ABDUL KOHAR adalah keturunan dari Kasultanan Demak, yaitu RADEN TRENGGONO. Semasa hidupnya K.H. Abdul Kohar selalu mengembara untuk memperdalam ilmu Agama Islam, akan tetapi setelah bertemu dengan Kyai NOOR FEQIEH disarankan supaya menetap disuatu tempat, yang akhirnya menetap,di Desa Ngampel dengan memulai babat hutan, mendirikan Masjid, Pondok Pesantren dan lain-lain. K.H. Abdul Kohar akhirnya meninggal dan dimakamkan di Desa Ngampel dan sampai sekarang selalu diperingati setiap tanggal 15 Suro Tahun Jawa.

MAKAM JATI KUSUMO DAN JATI SWARA
Makam Jati Kusumo dan Jati Swara terletak di Desa Janjang Kecamatan Jiken + 31 Km. ke arah Tenggara dari Kota Blora atau + 10 Km. dari Kecamatan Jiken. Mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut cerita Rakyat Pangeran Jati Kusumo dan Pangeran Jati Swara adalah dua bersaudara putera dari Sultan Pajang.

MAKAM MALING GENTIRI
Makam maling Gentiri terletak di Desa Kawengan kecamatan Jepon + 12 Km kearah timur dari kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut buku karya Sartono Dirjo (tahun 1984) serta buku tradisional Blora karya Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (tahun 1996) serta hasil dari cerita rakyat, Gentiri adalah anak dari Kyai Ageng Pancuran yang pada saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi (sakti mondroguo), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya. Namun dia suka mencuri (maling) bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling gentiri dujuluki Ratu Adil yang dianggak sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hokum dia tinggalakan dan akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Desa Kawengan Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak masyarakat setempat atau dari daerah lain yang dating ke makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah) 

MAKAM PURWO SUCI NGRAHO KEDUNGTUBAN
Makam Purwo Suci terletak di dukuh Kedinding Desa Ngarho kecamatan Kedungtuban + 43 Km kearah tenggara dari kota Blora, mudah dijangkau kendaraan roda dua ataupun roda empat sampai kejalan desa, serta jalan kaki sambil menikmati pemandangan alam untuk mencapai ke makam + 500 m karena letaknya berada di puncak perbukitan dengan luas areal + 49 m2. menurut informasi atau cerita dari masyarakat setempat, makam Purwo Suci adalah makam seorang Adipati Panolan sesudah Ario Penangsang bernama Pangeran Adipati Noto Wijoyo. Didalam halaman tersebut juga terdapat makam Nyai Tumenggung Noto Wijoyo. Karena jasa-jasanya yang sampai saat ini masih dikunjungi masyarakat untuk tujuan tertentu bahkan pernah dipugar oleh Bupati Blora pada tahun 1864 dengan memakai sandi sengkolo, Karenya Guna Saliro Aji (1864) menurut cerita yang panjang makam ini cocok dikunjungi wisatawan yang senang olah roso dan olah kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

sesepuh wono sobo

Makam Syekh Umar Sutadrana salah satu makam yang terkenal di WonosoboBeliau datang dari Arab, keturunan ke-31 Nabi Muhammad. Datang ke Indonesia tahun 1820 bersama ayahnya Syekh Abdul Rahim. Sebagai pedagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Menginjakkan tanah Jawa pertama kali di Jogjakarta,”ujar Patah Tjipto Suwiryo mengawali ceritanya.



Nama aslinya hanya Umar, kemudian membaur dengan orang Jawa ditambahi Sutadrana. Lantas ia bersama ayahnya menjadi prajurit Mataram. Berjuang melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Ketika Belanda berhasil memukul perlawanan Pangerang Diponegoro, prajuritnya kocar-kacir. Syekh Umar dan ayahnya lari ke Wonosobo. Bersembunyi di suatu tempat yang kini disebut Sudagaran. Hingga memiliki 6 anak dari istri yang berasal dari Jogja.



“Enam anaknya itu bernama Eyang Jami, Eyang Mangundrana, Noyodrono, Singodrono, Surodipo, dan Abdullah.   
..................................................................Di Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah terdapat sebuah makam kuno. Konon, makam tersebut bersemayam jazad seorang tokoh pembawa alirah Tarekat Naqsbandiyah pertama kali di tanah Jawa. Syekh Abdullah Qutbudin namanya. Dia berasal dari Iran. Menyebarkan Islam dengan membawa bendera tarekat yang kemudian menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan diyakini, Candirejo sendiri merupakan desa Islam pertama di Jawa karena kedatangan Syekh Abdullah Qutbudin ini....makam ini yg menemukan gus dur......................................................................................................................................Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng................................Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng.Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng..........''''''''''''''''''''''''''''''''',Makam Tumenggung WirodutaDusun Kalilusi yang masuk wilayah Desa Pecekelan Kecamatan Sapuran memiliki kaitan erat dengan sejarah Kabupaten WonosoboTokoh yang paling berperan adalah Kyai Wiraduta. Bersama 2 wira lainnya yakni Kyai Wirabumi dan Wiradhaha membuka rimba raya yang angker menjadi sebuah perkampungan penduduk.


“Wiraduta merupakan keturuan Prabu Brawijaya 5 Majapahit. Beliau masih berhubungan darah dengan Setjonegoro dan Selomanik. Tumenggung Wiraduta bersama saudara dan kawan-kawannya lari ke wilayah Wonosobo setelah dikejar-kejar pasukan Belanda. Dalam perang gerilya tersebut, Wonosobo dipilih menjadi tempat persembunyian karena berhutan belantara lebat yang sulit terjangkau. Bersama pasukannya, Pangeran Diponegoro sempat melewati Desa Pecekelan. Sedangkan Widuta bersama Wirabumi dan Wiradhaha membuka hutan belantara tersebut menjadi perkampungan. Wilayah tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Tumennggung Wiraduta. Pusat kekuasaan tersebut kemudian dipindah ke Ledok yang sekarang bernama Desa Plobangan Kecamatan Selomerto.Di dalam cungkup yang terbuat dari papan kayu terbaring jazad Tumenggung Wiraduta, istrinya dan sang ibu. Makam masih alami, ditandai dengan batu nisan dengan tanah yang rata. Sedangkan di luar adalah makam Kyai Blendang, Kyai Dalem, dan Kyai Diebeng juga ada Den Bagus Gendor. Komplek makam di dekat SMK Sapuran tidak terlalu jauh dari Jalan Raya Sapuran.......................................................................................Makam Tumenggung Jogonegoro terletak di desa Pekuncen, Selomerto. Tumenggung Jogonegoro merupakan seorang Bupati Kerajaan Mataram, mula-mula sebagai kepala prajurit ia bernama Ng. Singowedono. Karena jasanya terhadap kerajaan beliau mendapat gelar Raden Tumenggung Jogonegoro. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang perang Diponegoro atau pada era pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II.Tumenggung Jogonegoro sendiri merupakan cucu dari pendiri Wonosobo yaitu Kyai Karim.Pada waktu perang Diponegoro meletus. Tumenggung Jogonegoro bergerak dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dan melakukan siasat perang gerilya. Dalam perang ini sampailah Tumenggung Jogonegoro dan prajuritnya di daerah Plabongan. Plabongan menjadi ibu kota Kabupaten Wonosobo pada waktu itu dan dikenal sebagai Wonosobo Plabongan. Di tempat inilah Tumenggung Jogonegoro bertahan hingga mangkatnya. Beliu wafat pada hari Kamis Pon, 6 Februari 1755.Di kompleks makam Pekuncen tidak hanya makam Tumengung Jogonegoro saja yang berada di sana namun juga makam keluarga dan para pembantu setianya seperti Kyai Pulanggeni dan Kyai Sanggageni................................................................makam Kyai Nurizal di Dusun Lempong Desa Kalierang Kecamatan Selomerto.Kyai Nurizal atau warga setempat menyebutkan Mbah Nurizal konon merupakan teman seperjuangan Tumenggung Jogonegoro dalam melawan penjajah. Dugaan cukup masuk akal. Antara makam Jogonegoro dan Mbah Nurizal lokasinya tak begitu jauh

dari seh almagribi

Kita ambil mulai dari Syekh Jamaludin Husen dahulu. Beliau dengan rombongannya berlabuh melalui Pasai. Beliau kelahiran dari Indo-Cina, daerah Kamboja, Vietnam dan sekitarnya. Ibu beliau dari Champa ayah beliau Ahmad Syah Jalal adalah kelahiran India dan ayah Syah Jalal adalah menantu raja India Naser Abad. Ahmad Syah Jalal menikah dengan putri raja Champa. Putri Champa itu melahirkan Syekh Jamaludin Husen.dari Jamaludin Husen beliau mempunyai anak 11. Itulah kakek dari wali 9. Perjalanan Syekh Jamaludin dengan para ulama yang dari Timur Tengah. Ada juga yang dari Maroko. Maka rombongan tersebut ada yang menyebut al Maghrobi-al maghrobi. Rombongan tersebut yang pertemuannya Dipasai langsung menuju Jawa, tepatnya Semarang.



Dari Semarang meneruskan perjalannya ke Trowulan-Mojokerto. Karena akhlaknya dan budi pekertinya yang baik beliau sangat di hormati di Maja Pahit. Meskipun beda agama pada waktu itu, beliau mendapat beberapa sebidang tanah dari Gajah Mada. Terutama membuat sebuah padepokan pendidikan yang mana santri beliau itu tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Selain itu juga karena sangat popular maka disbut syekh Jumadil Kubro. Rombongan beliau berpencar dalm menjalankan tugasnya masing-masing. Yang terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, sebagian kecil ke Jawa Barat. Dan makam-makam beliau dinamakan almaghrobi-al maghrobi. Kalau makam almaghrobi itu banyak sekali, pantas, karena orangnya bukan satu tapi banyak.

Rombongan kedua dipimpin oleh dua tokoh.yang pertama Malik Ibrohimdan Sayid Ibrohim Asmoro qondi atau Pandito Ratu. Ketika itu, rombongan Malik Abdul Ghofur yang juga merupakan kakak Malik Ibrohim yang disebut juga Almaghrobi-almaghrobi. Rombongan ini lebih banyak dari sebelumnya. Malik Ibrohim itu cucu dari Syekh Jumadil Kubro. Rombongan ini juga berpencar, dan diantara robongan-rombongan tersebut ada yang ke Pekalongan sekitar 25 al Maghrobi. Makam beliau juga terpencar-terpencaer dengan nama Maulana Maghrobi.

Diantaranya Prabu Siliwangi memanggil beliau itu kakek (pernahnya).Jadi Maulan Maghrobi itu lebih tua dari Prabu Siliwangi. Diantara anggota rombongan ada yang wafat satu orang. Yang wafat ini dimakamkan di pesisir Semarang. Juga dikenal dengan Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kali Gawe. Dan ada juga yang wafat di Pekalongan, namanya yang pertama Syarifudin Abdullah, Hasan alwi al Quthbi. Beliau bersama rombongannya tinggal di dareh Blado Wonobodro. Terus yang dua orang lagi Ahmad al Maghrobi dan Ibrohim Almaghrobi tingal di daerah Bismo. Tiga tokoh tersebut dimakamkan di Bismo dan Wonobodro. Yang di Bismo membangun masjid di Bismo yang di Wonobodro membangun masjid di Wonobodro. Terus yang disetono Abdul Rahman dan Abd Aziz Almaghrobi.

Diantaranya lagi Syekh Abdullah Almaghrobi Rogoselo, Sayidi Muhammad Abdussalam Kigede Penatas angina. Jadi Almaghrobi tersebut empat generasi; generasi Jamaludin al Husen, generasi Ibrohim Asmoroqondi dan generasi Malik Ibrohim dan generasi Sunan Ampel. Termasuk yang dimakam kan di Paninggaran, daerah Sawangan; Wali Tanduran. Beliau itu termasuk generasi kedua walaupun bukan golongan al Maghrobi. Beliau sangat gigih dalam syi’ar Islam di Paninggaran. Kalau dalam bahasa Sunda Paninggaran itu berarti cemburu.
Di Pekalongan ini masih terpengaruh, sebagian Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur. Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit terus kebarat ikut Pajajaran kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-bahasa sunda seperti ada nama tempat, Cikoneng Cibeo di daerah sragi.

Kalau kita melihat pertumbuhan islam pada waktu itu yang dibawa oleh beliau-beliau belum al Magrobi-Almaghrobi. Yang 25 tersebut sebagian dimakamkan di Wonobodro, sebelum wali 9 yang masyhur itu, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dll, itu sudah ada wali sembilan seperti lembaga wali Sembilan jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali Sembilan itu seperti Wali Abdal, Wali Abdal itu ada 7. Wafat satu akan ada yang menggantikannya, wafat satu ganti, wafat satu ganti dan seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun demikian. Termasuk Kigede Penatas Angin itu wali 9, yang Wonobodro juga bagian dari wali Sembilan, tentunya generasi sebelum wali Sembilan yang masyhur itu.

Ki Gede Penatas Angin adalah yang mempertahankan Pekalongan dari serangan Portugis. Pada waktu wali 9 dijaman Sunan Gunung Jati diantaranya sudah ada yang masuk ke Pekalongan. Juga yang namanya Kiyai Gede Gambiran di pesisir pantai. Tapi karena terkena erosi sekarang Gambiran sendiri sudah tidak ada. Ada lagi Sayid Husen didaerah Medono dikenal makam Dowo Syarif Husen, beliau itu juga hidup dijaman wali 9. Diantara tahun 1590 an, sebelim masuk pejajahan Belanda.Pekalongan walaupun tidak banyak disebut dalam sejarah Demak tapi dekat hubungannya dengan kerajaan Demak. Pekalongan tahun1900 lebih seadikit pelabuhannya didaerah Loji daerah hilir. Makanya didaerah sekitar nama-nama desanya seperti Bugis; Bugisan, Sampang; Sampangan, itu diantaranya. Pekalongan pada waktu itu sudah mulai maju. Dalam pendidikan agama, ekonomi dan lain s sebagainya. Di Dieng dan daerah sekitarnya ada beberapa Candi. Itu menunjukkna kultur di Pekalongan sudah maju. Di daerah Reban sampai Blado itu pernah ditemukan situs air langga. Itu semua menunjukan kalau Pekalongan sudah tua, hanya kita belum menemukan bukti secara kongritnya. Pekalongan pada waktu itu sudah maju, diantara buktinya pada jaman Sultan Agung Pekalongan pada waktu itu sudah mendapat kepercayaan menjadi tempat lumbung-lumbung padi atau beras.

Dan diantara tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu, di adalah tokoh yang di makamkan di Sapuro, yaitu Ki Gede Mangku Bumi sayang makamnya sudah rusak. Jaman almarhum Pak Setiono saya masih sempat meminta untuk menulis tentang tokoh itu. Beliau meninggal pada tahun 1517 Masehi, makamnya di Sapuro belakang masjid. Ada lagi walaupun aslinya dari Bupati Pasuruan Raden Husen Among Negoro, beliau meninggal tahun 1665 dimakamkan di belakang masjid Sapuro. Beliau adalah Putra Tejo Guguh, Putra bupati Kayu-Gersik ke dua. Beliau ini yang menurunkan bupati Pekalongan yang pertama. Pada waktu itu penduduk sudah ramai disusul dengan beberapa tokoh yang lain seperti Ki Hasan Sempalo atau Kyai Ahmad Kosasi adalah menantu beliau.

Bupati Pekalongan yang namanya Adipati Tanja Ningrat meninggal tahun 1127 H. Dimakamkan di Sapuro juga sejaman dengan Jayeng Rono Wiroto putra Amung Negoro. Kiyai Gede Hasan Sempalo. Dan di Noyontaan (Jl. Dr. Wahidin) ada Kiyai Gede Noyontoko hingga desa tersebut disebut Noyontaan, sebabwaktu tokoh yang membuka adalah Ki Gede Noyontoko. makamnya di dalam Kanzus Sholawat. Dulu di belakang rumahnya Pak Teko meninggal tahun 1660 M. dan banyak lagi seperti Wali Rahman di Noyontaan, dulu di Tikungan jl toba atau di depan pabrik Tiga Dara sekarang makam nya sudah hilang.

Sesudah pekalongan mulai rame datang pula tokoh-tokoh yang popular datang dari Hadramaut Yaman beliau adalah Habib Abubakar bin Toha. Habib Abu Bakar lahir didaerah Tarim namanya daerah Gorot. Makanya kayu geritan itu berasal dari kata Gorot. Sekitar abad 17 sebelum masuk Indonesia beliau berdakwah di India, Malaysia, Malaka, Pasai lalu Kalimantan. Beliau pernah tinggal di sebuah desa namanya Angsana daerah Kalimantan Selatan dan masuk ke Surabaya menuju ke Jogja. Beliau dikenal sebagai tokoh pendamai; baliaulah yang menyatukan menyelesaikan sengketa-sengketa. Beliau sangat tinggim ilmunya dan sangat di segani. Beliau mendapatkan gelar Penembahan Tejo Hadi Kusumo. Setelah itu beliau masuk di Pekalongan tinggal di daerah Karang Anyar.

Habib Abu bakar masuk daerah ini karena urutanya dekat dengan Ki Hasan Cempalo, beliau mendirikan padepokan. Kiyai Bukhori salah seorang tokoh pernah menceritakan kalau dijaman nabi beliau seperti sahabat nabi, maksudnya kedudukan kewaliaanya sangat tinggi beliau termasuk golongan Bin Yahya. Pertamakali masuk ke daerah wonopringgo. Guru beliau banyak sekali diantaranya pengarang kitab Nashoih Addiniyah; al Habib Abdullah bin Alwi al Hadad. Dan murid Habib Alwi Al Hadad di Indonesia banyak sekali.

Habib Abu Bakar meninggal tahun 1130. Gurunya adalah paman dan ayahnya sendiri yang sangat popular kewaliannya dan banyak lagi guru-guru yang lain. Dan murid-murid beliau di Pekalongan dan luar Pekalongan banyak sekali. Termasuk kakennya Kyai Nurul Anam dimakamkan di Kayu Geritan juga. Daerah dakwahnya terpencar. selain mengajarkan ilmu agama juga ilmu yang lainnya seperti ilmu kelautan dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau dan kakaknya; bertiga, Sayid Abdurahman, Sayid Abu Bakar dan sayyid Muhammad Qadhi.

Sayyid Abdurahman di Cirebon dan Sayyid Muhammad Qodli di Semarang Terboyo. Beliau mendapat gelar banyak selain sunan Qodli juga gelar Ki Gede Semarang. Beliau; Syekh Abu Bakar bin Toha juga sangat gigih memimpin dalam melawan Belanda. Ketiga kakak-adik tersebut hampir sama dalam pola dakwahnya, dan juga sama-sama sangat gigih dalam melawan Belanda. Selain makam beliau di Kayu Geritan juga ada makam kasepuhan lainnya, diantaranya Qodli Shon’a, juga dua pamenang atau prajurit dari Mataram.

Lalu kakenya dan ayahnya Nurul Anam dan tokoh ke bawah Kiyai Utsman, Kiyai Asy’ari Karang Anyar. Beliau itu juga dimakam kan di Kayu geritan. Kalau kiyai utsman sebelah barat Kiyai Asy’ari sebelah timur. Tokoh-tokoh dahulu yang ziarah ke Kayu Geritan ini adalah tokoh-tokoh yang top semuanya. Habib Hasyim selain sering ziarah ke makam Habib Abu Bakar bin Thoha ini, juga sumbernya sejarah makam ini. Selain sumbernya dari beliau, saya juga mengambil dari beberapa kitab diantaranya kitab punya Sayyid bin Tohir Mufti Johor Malaysia. namanya Alatho’if, dan buku-buku atau kitab-kitab silsilah. Jadi ada bukti sejarahnya dan jelas kita tidak ngawur dalam hal ini