Sabtu, 13 Maret 2010

ki ageng selo

Ki Ageng Selo…

Silsilah
Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta) maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).

Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng Tarub. Ia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkimpoian Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang paling sulung Ki Ageng Selo.
Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan dinasti Demak.

Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang.

Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) .Makam Imogiri merupakan komplek makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya. Kompleks ini berada di Ginirejo Imogiri. Makam ini didirikan oleh Sultan Agung antara tahun 1632 - 1640M merupakan bangunan milik keraton kasultanan.



Raja Mataram yang pertama dimakamkan di Imogiri yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo. Beliau yang memutuskan bahwa Imogiri menjadi makamnya kelak setelah beliau wafat. Hingga saat ini Raja Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta yang wafat dimakamkan di sini. Musim liburan banyak wisatawan lokal berkunjung ke Makam Imogiri selain berziarah sambil menikmati pemandangan yang indah pegunungan selatan Yogyakarta. Pada bulan Soro menurut kalender jawa dilaksanakan upacara pembersihan "nguras" Padasan Kong Enceh.



Komplek Makam Imogiri ini terdapat berbagai bangunan dan benda-benda keramat hingga saat ini masih terawat. Kontruksi bangunan aslinya terbuat dari batubata. Bangunan - bangunan yang ada di komplek makam lmogiri adalah :

Masjid, Masjid ini terdapat di dalam komplek makam , merupakan masjid tradisional yang di bangun kira-kira pada masa Sultan Agung . secara umum bangunanya masih asli hanya pada bagian serambinya saja yang mengalami perubahan yaitu pada bagian lantainya. Masjidnya beratap sirap , tetapi kini bagian atasnya dilapisi seng. sehingga atap, sirap hanya bisa dilihat dart dalam masjid saja. Unsur kekunoan lain pada masjid ini adalah pawestren dan kolam di halaman depan . Pada serambi masjid terdapat tubuh (Bedeng), besar dengan diameter 99 cm, panjang 146 cm. Menurut juru kunci makam tabuh ini di buat semasa dengan masjid. Unsur asli yang lain adalah saka guru dari kayu jati yang di sangga umpak persegi dari batu kali. Mihrap berupa relung pada dinding barat, dan mimbar berhias ukir-ukiran diantaranya ada yang manyerupai kala.

Gapura, Di Komplek makam im terdapat empat buah pintu gerbang: Kori supit urang , berbentuk gapura bentar yaitu gapura yang berbentuk seperti candi terbelah, tanpa atap dan tanpa daun pintu. ukuran panjang 220 cm. lebar 150 cm, dan terbuat dan batu bata . Pada bagian kaki terdapat hiasan giometris. Di sebelah menyebelah kori supit urang ada dua padhasan, dengan lapik berhias tumpal.

Regol Sri Manganti I, berbentuk paduraksa yaitu gapura yang mempunyai atap dan daun pintu Biasanya gapura seperti ini merupakan gerbang untuk memasuki halaman yang dinilai sakral. Terbuat dari batu putih,tetapi sekarang dilapisi semen.tangganya berukuran 12,70 x 3,60 m dibuat dari Pasangan bata. Daun pintu dan kayu jati dihias dengan dua bidang besar berbentuk belah ketupat, berisi ukiran bermotif tumbuh-tumbuhan. Di bawah ambang atas pintu ada Latiyu (ambang atas pintu yang berundak-undak), bertingkat lima terbuat dari kayu. Dibelakangya terdapat angka-angka jawa.

Regol Sri Manganti II, berbentuk paduraksa, akan tetapi pada gerbang ini intensitas pola hiasanya berkurang ( lebih sedikit ), terdapat Latiyu bertingkat tujuh dan berhias pola bunga-bungaan di bagian tengahnya. Di balik Latiyu terdapat angka-angka Jawa.

Gapura Papak, merupakan gerbang menuju ke makam Sultan Agung yang terletak di halaman terakhir / halaman 1V. Didekat gapura im terdapat susunan batu yang disebut pelenggahan yang digunakan Sultan Agung untuk memandang laut selatan.

Kelir, Yaitu sebuah bangunan pagar tembok yang berfungsi sebagal kelir atau aling-aling pintu gerbang.Disini terdapat empat kelir yaitu:
Kelir gapura supit urang, panjangnya 4,40m,lebar O,60m, terbuatdari batu bata dan batu yang disusun tanpa semen

Kelir Regol Sri Manganti I, berukuran 4,3 5 x 0,40 m juga dibangun dari dari bata tanpa semen Bagian atapnya polos, sedang bagian bawah dialasi dengan 17 bidang berbentuk segi empat dan Segi enam.

Kelir Regol Sri Manganti II, dibuat dari bata berukuran 4 x 0,20 m, hiasanya berupa bidang bidang berukiran pola Geometris yang diselingi pola tumbuhan.
Kelir Gapura Papak, terdiri dari susunan batu putih berbentuk huruf L. Kelir ini samasekali tidak berhias.

Padasan, Padasan merupakan tempat berwudlu / bersuci. Disini terdapat 6 buah padasan yaitu, 2 buah terdapat di luar gerbang supit urang dan 4 buah terdapat dihalaman Kamandhungan dan biasanya disebut enceh atau Kong. Dua buah enceh yang berada di timur tangga regol Sri Manganti 1 dinamai Kyai Mendhung dan Nyai Siyem. Kedua enceh ini merupakan persembahan dari raja Ngerum (Turki) dan Siyem (Thailand). Sedang yang berada, di sebelah barat tangga bernama Kyai Danumaya dan Nyai Danumurti, berasal dari Aceh dan Palembang. Enceh-enceh ini diisi setahun sekali pada hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon yang pertama di bulan Suro dengan upacara tradisi khusus.

Nisan, Nisan sama artinya dengan makam . Bahan pembuat nisan di komplek makam ini antara lain adalah batu andesit, bata, dan batu pualam . Nisan untuk wanita biasanya bagian atasnya tumpul atau membulat , nisan untuk pria bagian atasnya runcing. Nisan-nisan di komplek makam ini di bagi dalam 8 (delapan) kelompok makam.

Kolam, Kolam ini terletak di halaman depan masjid , tepatnya di depan gapura supit urang.Pengisian kolam diperoleh dari mata air.

ki ageng prawito sidik

Semasa hidupnya Ki Ageng Purwoto Sidik merupakan guru dari Joko Tingkir yang kelak kemudian hari berhasil menjadi raja di Kerajaan Pajang. Lokasi berada di Dusun Sarean, Kelurahan Jatingarang, Kecamatan Weru, Sukoharjo.
Ingin mengetahui sejarah dari Ki Ageng Purwoto Sidik ? Berikut cerita sejarah yang kami kutip dari berbagai sumber.

Pengembaraan Kyai Purwoto Sidik meninggalkan banyak petilasan di berbagai daerah. Namun, karena di tiap daerah selalu berganti nama, banyak orang meragukan petilasan itu. Banyubiru lalu menjadi kata kunci kepastian jati diri tokoh mistis ini.

SEJAK peristiwa mistis di Rawapening, Kyai Purwoto Sidik kawentar dengan julukan Ki Ageng Banyubiru. Semula julukan itu hanya digunakan pengikutnya, tapi kemudian menjadi lebih umum.
Perjalanan Kyai Purwoto Sidik berlanjut ke Purwokerto. Hampir di setiap tempat beliau juga bertapa. Setelah tujuh tahun di Purwokerto lalu hijrah ke Rejosari Semin Gunungkidul. Beliau hidup di tengah hutan Kali Goyang.
Makam Ki Ageng Purwoto Sidik
Makam Ki Ageng Purwoto Sidik

Ketika tapa-brata beliau bersandar di pohon Jati. Di hutan itu, beliau berganti nama menjadi Ki Ageng Purwoto Sidik Perwitosari. Tujuh tahun kurang dua puluh satu hari, beliau didatangi seseorang dari Serang yang mengaku sebagai cucu. Kyai Purwoto Sidik yang waskita sudah mengetahui sebelumnya. Beliau tak ingin ditemui, dan segera meninggalkan alas Kali Goyang cucu itu tiba. Namun, orang itu terus mengejar. Setelah bertemu, orang Serang itu menyatakan ingin berguru. Dengan tegas Kyai Purwoto Sidik menolaknya. Ketika terjadi perdebatan antara keduanya mendadak pohon Jati tempat bertapa Kyai Purwoto Sidik tumbang.

Makam Ki Ageng Purwoto Sidik
Tumbangnya pohon Jati di alas Kali Goyang, menurut Mbah Amad, menjadi tetenger atau tanda putusnya hubungan Kyai Purwoto Sidik dengan seseorang dari Serang yang mengaku sebagai cucunya tersebut.
SESUDAH peristiwa di alas Kali Goyang, lalu meneruskan pengembaraan sampai di Jatingarang Sukoharjo. Dulu bernama alas Wonogung. Beliau tapa kungkum di sendang setempat. Dan lagi-lagi, air sendang Wonogung mendadak berubah biru. Sendang itu pun lalu dinamai Banyubiru.

Makam Ki Ageng Purwoto Sidik
Kini kawasan sendang telah berubah menjadi dusun Banyubiru. Dan nama Ki Banyubiru makin kondang.
Dusun Banyubiru berada di selatan kota Solo, disebut-sebut sebagai tempat pertama Joko Tingkir berguru. Joko Tingkir kemudian ke Gunung Majasto lalu ke Pajang. Jalur getheknya menjadi dasar penamaan dusun-dusun di wilayah itu, yakni Watu Kelir, Toh Saji, Pengkol, Kedung Apon dan Kedung Srengenge.
Selain Sendang Banyubiru, ada delapan sendang lain petilasan Kyai Purwoto Sidik, yakni sendang Margomulyo, Krapyak, Margojati, Bendo, Gupak Warak, Ndanumulyo, Siluwih dan Sepanjang.
Sendang Gupak Warak berada di Wonogiri, dan lainnya tersebar di Weru Sukoharjo. Semua
sendang itu, kini airnya menyusut. Bahkan, sendang Banyubiru tak lagi mengeluarkan air, dan dibiarkan menjadi kolam kering penampung air hujan, dan di atasnya dibangun sebuah masjid.

Di dusun Banyubiru, Kyai Purwoto Sidik menetap hingga tutup usia. Beliau dimakamkan di utara sendang Banyubiru, yang kini karena alasan administratif menjadi dusun bernama Sarehan. Ki Ageng Banyubiru dimakamkan bersama kedua puteri, Nyai Gadung Melati dan Roro Tenggok. Uniknya, kedua puteri tersebut tak dibuatkan nisan. Kedua pengikut beliau, Gus Bambang dan Gus Purut dimakamkan dalam satu nisan untuk berdua.
.................... Makam Bumi Arum Majasto
Thursday, 26 March 2009 00:00
E-mail Print PDF

Majasto
Berada di puncak bukit setinggi kurang lebih 60 meter di Pegunungan Kendeng Kidul, Desa Majasto, Tawangsari seraya memandang ke bawah, akan terlihat pemandangan asri. Hamparan sawah yang menghijau dan perumahan warga terasa menyejukkan mata.
Di puncak bukit itulah (10 km dari jantung Kota Sukoharjo) Kompleks Makam Ki Ageng Sutawijaya atau yang dikenal dengan nama Bumi Arum Majasto berada.

Semasa hidupnya, Ki Ageng Sutawijaya yang juga dikenal sebagai Joko Bodho adalah tokoh yang sangat sakti. Ini tak diragukan, karena selain putra nomor 107 dari raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V sekaligus guru Jaka Tingkir yang di kemudian hari menjadi Raja Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada malam satu Sura, maupun malam Selasa dan Jumat Kliwon pengunjung membeludak.

Majasto
Majasto
Majasto
Majasto


Menurut generasi ke -11 juru kunci makam Ki Ageng Sutawijaya ini, ada yang istimewa terkait kondisi makam yang lebih dikenal sebagai Makam Majasto ini. Tanah di makam yang juga digunakan sebagai tempat pemakaman umum itu tidak seperti layaknya tanah di makam-makam umum lainnya.

Bagaimana tidak? Jika di makam umum lainnya untuk mengubur jasad mayat harus dalam kedalaman tertentu untuk mencegah bau mayat. Maka di makam tersebut mayat cukup dikubur sedalam 50 cm saja.

Majasto
Anehnya, meski tanahnya dangkal, jenazah tidak berbau. "Ini karena tanah di sini adalah tanah arum (harum-Red). Istilah harum di sini bukan secara kasat mata yang dapat dicium melalui hidung, melainkan melalui mata batin

babat pleret

Babad Tanah Plered
Plered adalah suatu kota Pusat Pemerintahan Mataram di bawah kekuasaan Raja Mataram Islam bergelar Kangjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau Amangkurat I yang dimakamkan di Tegalarum ,ketika perang pemberontakan Trunojoyo.Beliau adalah Putera Sultan Agung yang ke 10 dari isteri Padmi (Permaisuri) Kangjeng Ratu Kencono berasal dari Kadipaten Batang ( Tegal ) atau Kangjeng Ratu Wetan Putera Raden Ronggo Wongsoadibroto ( Adiprojo ) ke 11,putera menantu Mandurorejo ke I.

Beliau naik tahta pada tahun : 1645 s/d 1677 M sehingga adanya pemberontakan Panembahan Maduretno alias Trunojoyo, yang sebenarnya peperangan ini merupakan perebutan kekuasaa antara Ayahanda dan Putera Mahkota,dengan memperalat Trunojoyo dari Madura. Sampai sekarang tempat tersebut masih sebagai Pusat Pemerintahan tetapi hanya tingkat Kecamatan (Kapanewon=Panewu)agak menggeser 1 km ke Utara termasuk Kalurahan ( Penatus ) Pleret, Kabupaten Bantul,Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ketika Pemerintahan Pusat Mataram masih dijabat Sultan Agung Hanyokrokusumo Segala sesuatunya dalam bidang kenegaraan maupun Pemerintahan sangat berkembang pesat , begitu pula dalam bidang kemiliteran sangat kuat dan mempunyai daya tempur yang tinggi. Pernah membuat Lumbung padi bersama-sama dengan orang-orang Sunda di Kerawang Jawa Barat, dengan maksud untuk persediaan supply prajurit sewaktu menyerang ke Batavia.

Untuk melatih prajurit lautan lalu membuat kolam telaga yang lebar dan luas disebut : SEGARA YASA, air diambil dari Kali Gajah Wong yang bertempur dengan Kali Opak didesa Wonokromo, tempat itu sekarang dihuni oleh penduduk sekitarnya lalu dinamakan Desa Segoroyoso.

Pada tahun 1628 M.Kangjeng Sultan Agung menyerang ke Batavia ( Jayakarta ) tetapi mendapat kekalahan yang besar , banyak prajurit yang kurang makan , mati kelaparan , kekurangan alat persenajataan, kekurangan meriam dan senjata api, tombak dan kapal, karena lumbung padi yang berada di Krawang dibakar oleh Belanda VOC. Benteng Kompeni VOC selain dibuat batubata juga dibagian luar banyak terdapat pohon -pohon bambu ori , agar Kompeni VOC dapat melihat Prajurit Mataram dari kejauhan Maka pohon-pohon bamboo-ori tersebut ditembaki nmemakai peluru uang-logam, karuan saja penduduk lalu merombak pohon-pohon bamboo tersebut untuk mengambil uang ,

sebaliknya Prajurit Mataram merasa marah lalu senjatanya diisi dengan tinja (kotoran manusia ) sehingga penduduk disana menyebut ambetai, lama-kelamaan beralih :Betawi

Sultan Agung merasa marah mendengar para prajuritnya selalu menderita kekalahan dan Jayakarta ( Sunda Kelapa ) telah diduduki Kompeni VOC,untuk hal ini Sultan Agung merasa terpukul keras,hingga menderita sakit ,akhirnya wafat dalam usia 55 tahun 1645. Beliau digantikan oleh Putera Mahkota bergelar : PRABU SUSUHUNAN AMANGKURAT AGUNG atau Susuhunan Amangkurat I seda Tegalarum , bertahta tahun 1645 s/d 1677 M.

Kemudian Keraton dipindahkan mleret ke timur , lalu disebut Kedhaton Pleret. Bekas Keraton Kerta hanya dipergunakan sebagai Pesanggrahan Keraton lama. Di Keraton baru , Kangjeng Sunan Mangkurat Agung masih juga aktif bersembahyang ke Masjid Agung Ngeksigondo ,dengan dikawal oleh para punggawa-punggawa Kraton yang begitu banyak ginarebeg ( dikawal ) para prajurit seakan-akan Kanjeng Susuhunan Amangkurat naik burung Garudha dari Keraton menuju ke Masjid

,hanya sekejab mata saja. Setelah bertahta agak lama, beliau hanya mementingkan kenikmatan keduniawian memelihara selir banyak, bahkan menyimpan gadis kecil yang dititipkan kepada Tumeng

gung Wirorejo agar nantinya setelah m enginjak dewasa akan dijadikan isteri muda. Gadis ini bernama :Roro Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya yang dibawa Pangeran Pekik Adipati Surabaya (masih Paman Raja ,suami Ratu Mas Wandansari,adik Sultan Agung ).

Pada suatu hari Pangeran Adipati Anom (Pangeran Tejaningrat ) berkunjung kerumah Tumenggung Wirorejo bermaksud hanya main-main saja. dengan tidak terduga bahwa di Katemanggungan ada seorang gadis yang sedang membatik kain. Sang Pangeran merasa terpikat hatinya. demi melihat gadis cantik molek yang tumbuh di sebuah Tamansari Katemanggungan Wirorejan. Begitu pula Rara Hoyi setelah bertemu pandangan matanya , deras berdebar–debar jantungnya dan segera lari masuk ke Pendapa Katemanggungan sambil duduk termangu-mangu. Sang Pangeran manunggu kehadiran si Cantik Jelita,namun tidak mungkin keluar karena malu. Ki Tumenggung Wirorejo keluar menghadap Sang Pangeran dengan sembahnya, sambil unjuk atur : “ Pangeran .. anak gadis yang Paduka cari itu sebenarnya puteri Piningit dari Surabaya, yang akan menjadi isteri Ayahanda Raja Sunan Prabu Mangkurat Agung ..” Setelah Sang Pangeran mendengar keterangan dari Ki Tumenggung Wirorejo , segera minta pamit kembali ke Keraton . Di Kesatriyan Sang Pangeran tidak dapat tidur, dan selalu terbayang-bayang wajah gadis itu, selalu menggoda dipelupuk matanya, akhirnya Sang Pangeran jatuh sakit.

Hal ini terdengar oleh Kangjeng Ratu Wandansari, Isteri Pangeran Pekik , bahwa Sang Pangeran jatuh sakit wuyung, kasmaran dengan Roro Hoyi sengkeran Sang Prabu Susuhunan Amnangkurat I.

Atas persetujuan Pangeran Pekik, Rara Hoyi dibawa masuk ke Keraton dan ditempatkan di Kesatriyan, untuk mengobati penyakit Sang Pangeran. Pangeran Pekiklah yang bertanggung jawab apabila Sang Ayah marah, menurut pendapatnya mestinya sang Ayah mau mengalah dengan anaknya. “ Ora ana macan arep tegel mangan gogore … “ Dugaan ini ternyata meleset, setelah Sang Prabu mendengar Rara Hoyi jatuh cinta kepada Sang Pangeran,dan malah mendapat dukungan dari Pangeran Pekik,beliau geram dan murka. Maka Pangeran Pekik dan Kangjeng Ratu Wandansari serta Pangeran Tejaningrat begitu pula Tumenggung Wirorejo dan Nyi Tumenggung dipanggil menghadap

Susuhunan Prabu Amangkurat I. Dalam Pasewakan ( Rapat ) yang luar biasa Sang Raja marah - marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirorejo berdua dan jenazahnya dimakamkan di Makam Banyusumurup. Selanjutnya Pangeran Tejaningrat harus membunuh Rara Hoyi dari tangannya sendiri.. Pangeran Tejaningrat dengan membawa keris terhunus meninggalkan Paseban menuju ke Kesatriyan, sesampainya di Kesatriyan tidak tega akan menusuk Rara Hoyi. Rara Hoyi tanggap bahwa yang menyebabkan onar didalam Keraton Mataram adalah dirinya , maka setelah melihat Sang Pangeran membawa keris terhunus , ditubruklah keris itu sehingga tembus sampai kepunggungnya,Rara Hoyi meninggal seketika itu juga.

Geram Sang Prabu Susuhunan Amangkurat belum mereda, dan memerintahkan agar Kesatriyan dibakar habis-habisan, sedang Pangeran Tejaningrat diasingkan(dibuang) ke Hutan Larangan ( tutupan ). Di Hutan Tutupan Pangeran Tejaningrat kedatangan Pangeran Puruboyo Bantheng Wulung , mengajak Trunojoyo , anak kemenakan Adipati Cakraningrat dari Sampang Madura. Maksud kedatangan mereka mengajak perundingan, agar Sang Pangeran mau merebut kekuasaan Sang Ayah Prabu Amangkurat I, karena beliau bertindak sewenang-wenang terhadap anaknya saerta para kawulanya.Pangeran Tejaningrat menerima bujukan ini , dengan janji : Apabila Trunojoyo dapat menundukkan Prabu Amangkurat I ,akan diangkat menjadi Patih dikelak kemudian, setelah Pangeran Tejaningrat atau Pangeran Adipati Anom naik tahta kerajaan. Dengan kekuatan Prajurit yang luar biasa Trunojoyo menyerbu Kedhaton Plered, dibantu oleh orang-orang Makasar, Kraeng Galengsong, Kraeng Naba dan lain-lainnya , memporak-porandakan keadaan didalam Keraton .

Sang Pangeran dengan secara diam-diam menelusup ke Keraton, mengajak Sang Ayah Prabu Susuhunan Amangkurat Agung agar mau meninggalkan Keraton mengungsi ke barat untuk menyelamatkan diri. Trunojoyo dapat menduduki Keraton Plered dan mengangkat dirinya sebagai PANEMBAHAN MADURETNO dan semua isi Keraton disita dan dibagi-bagikan ke pada para prajuritnya , isteri Susuhunan , Kanjeng Ratu Kencono ( Kangjeng Ratu Kleting Kuning ) diboyong ke Kediri. Ditempat pengungsian Ajibarang Jawa Barat, Susuhunan Amangkurat I memerintahkan kepada anaknya agar mau merebut kembali Keraton Pleret , akan tetapi Sang Pangeran tidak sanggup melawan Trunojoyo, didalam batinnya beliau telah berjanji, bila Trunojoyo telah dapat menduduki Keraton tentu akan menyerahkan kedudukannya itu kepada Sang Pangeran,tetapi Trunojoyo melanggar janji dalam peribahasa Jawa disebut : Ngemut Gula krasa legi , eman yen nganti dilepeh ..Setelah Sri Susuhunan Amangkurat I memerintahkan , anaknya tidak mau kemudian mengeluarkan Prasapta ( Ipat-ipat ) bahwa : Semua keturunan Raja dilarang mengadakan Ziarah ke leluhurnya. Dibantu oleh Adipati Mertalaya di Tegal , Prajurit Mataram mengejar Prajurit Trunojoyo ke Kediri , namun kemudian Susuhunan Prabu Amangkurat I sesampainya di desa Pasiraman wafat dan dimakamkan di Tegalarum , Tegal , Jawa Tengah , sedang Sang Pangeran Adipati Anom memakai srempang Orange Nassau dari Belanda , diangkat menjadi Admiral mendapat sebutan : SUNAN AMANGKURAT AMRAL II .

Keadaan Kraton Pleret rusak dan tidak pantas lagi ditempati seorang Raja Muda , maka Keraton dipindahkan ke Kartasura , Kedhaton Pleret sekarang tinggal Patilasan berupa : Umpak , lantai dan sumur gumuling.

Surakarta, Desember 1787. Pamflet gelap menempel di tempat penyimpanan gamelan milik keraton. Isinya, sebuah gugatan untuk Pakubuwono III yang dituduh menyimpang. Raja Surakarta itu memang akrab dengan kolonial Belanda yang memeras tenaga rakyat, habis-habisan. "Mestikah orang-orang Eropa (dianggap) lebih kuat daripada Allah?" Surakarta sontak geger mencari-cari si pemasang pamflet. Tak tersedia petunjuk kecuali sebuah nama yang menyebut dirinya sebagai Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingulaga.
Pada waktu itu, tentu belum ada Jamaah Islam, Al Qaeda, Hamas, ataupun Jihad Islam. Tapi, kecurigaan aparatur asal Eropa sudah sejak lama dialamatkan pada Islam. Walhasil, seorang kyai ditangkap. Namanya, Kyai Alim Demak. Kyai yang buta huruf latin itu diseret jadi terdakwa. Sayang, belum ada presumption of innocence masa itu. Ia dihukum sebelum sempat diadili. Kyai Alim Demak disiksa hingga tewas. Kulitnya dikelupas selapis demi selapis. Tepat di bawah parasnya, pamflet yang menggemparkan itu, dibakar.

Raja Mataram putera Sultan Agung, Amangkurat I, murka sejadi-jadinya. Ada pembisik mengabarkan, ribuan ulama di wilayah kekuasaannya bersimpati pada Pangeran Alit yang tengah memberontak. Akarnya? Raja Mataram itu kerap mengorbankan rakyat demi kepentingan Belanda. Maka, bila Babad Tanah Jawi bisa dipercaya, 6000 orang--terdiri atas para ulama dan keluarganya--yang menjadi tersangka, dikumpulkan di alun-alun. Tanpa beban, dalam tempo kurang dari setengah jam semuanya tersungkur menjadi mayat tanpa kepala. Amangkurat I memerintahkan penyembelihan massal.

Pemberontakan, tokh, terus berlanjut. Kali itu di bawah pimpinan Pangeran Trunojoyo, asal Madura. Amangkurat I akhirnya tumbang, dan anaknya, Amangkurat II, diserahi Trunojoyo untuk melanjutkan kekuasaan ayahnya. Tapi, tak lama setelahnya, ketika para bupati diundang dan dikumpulkan di balairung kerajaan. Di hadapan mereka disuguhkan adegan mengerikan. Amangkurat II menikam Pangeran Trunojoyo, lantas membelah perut dan mengambil hatinya. Setelah dicincang, ia bagi-bagi pada para bupati untuk ditelan mentah-mentah, untuk menguji loyalitas.
Mbambhung
View Public Profile
Send a private message to Mbambhung
Find More Posts by Mbambhung

Senin, 08 Februari 2010

seh jambu karang

Makam Syeh Jambu Karang atau Jambukarang lebih dikenal masyarakat jawa sebagai Ardi Lawet atau Ardilawet. Terletak di puncak gunung Lawet yang masuk kedalam Wilayah Pemerintah Desa Panusupan Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga Propinsi Jawa Tengah,
Silsilah atau asal usul menurut manuskrip Cariyosing Redi Munggul, Pangeran Jambu Karang berasal dari Pajajaran, putra Prabu Brawijaya Mahesa Tandreman.Raja Pajajaran I. Ketika masa mudanya beliau bernama Adipati Mendang (R. Mundingwangi). Tradisi Sadjarah Padjajaran Baboning Tjarios saking Adipati Wiradhentaha Boepati Prijangan Manondjaja menyebutkan bahwa Jambukarang merupakan raja Pajajaran yang bergelar Prabu Lingga Karang atau Prabu Jambu Dipa Lingga Karang (bdk. Soetjipto, 1986:14-20).Pangeran Jambu Karang ditonjolkan sebagai Raja Sunda yang masih kafir. Kemudian diislamkan oleh Pangeran Atas Angin setelah melalui perang kesaktian yang dimenangkan oleh Pangeran Atas Angin. Kemudian Pangeran Atas Angin menikah dengan putri Pangeran Jambu Karang yang bernama Rubiyah Bekti. Perkawinan mereka melahirkan lima orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Kusen (Kayu Puring) yang dimakamkan di Rajawana, (2) Mahdum Madem (makamnya di Cirebon), (3) Pangeram Mahdum Omar (makamnya di Pulau Karimun, Jepara), (4) Nyai Rubiyah Raja (makamnya di Ragasela, Pekalongan), dan nyai Rubiah Sekar (makamnya di Jambangan Banjarnegara).

Hubungannya wali Prakosa dengan Syeh Jambu Karang. Pangeran Mahdum Kusen berputra Pangeran Mahdum Jamil. Pangeran Mahdum Jamil mempunyai dua orang anak, yaitu (1) Pangeran Mahdum Tores (makmnya di Bogares, tegal) dan (2) Pangeran Wali Prakosa (makamnya di desa Pekiringan, karangmoncol, purbalingga). Pangeran wali Prakosa inilah yang disebut dalam Piagam Sultan demak yang berasal dari tahun Jawa 1503 sehingga ia merupakan tokoh sejarah, sedangkan Pangeran Jambu Karang, Pangeran Atas Angin, Pangeran Mahdum Kusen, dan Pangeran Mahdum Jamil adalah tokoh-tokoh legendaris dari Perdikan Cahyana.

Jumat, 05 Februari 2010

makam sepuh ungaran

Curug Lawe menjanjikan daya pikat untuk menikmati keindahan air terjun dengan pemandangan alami dan udara yang asri, bersih dan segar. Di sebelah barat areal Curug Lawe juga terdapat Curug Benowo yang tidak kalah indahnya dengan Curug Lawe. Diantara kedua curug tersebut terdapat makam yang diyakini sebagai makam Maulana Ihsanudin Alkirom dan Sayyid Abu Bakar Asy-Syakiri yang baru ditemukan pada tahun 2008 oleh pengelola setempat. Peziarah ramai berdatangan pada hari jumat kliwon atau selasa kliwon.

ki gede sebayu tegal

Identitas Kabupaten Tegal dijiwai oleh semangat kejayaan Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah tegal. Sebagaimana tertera dalam buku silsilah raja-raja se-Tanah Jawa. Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan yang bernama Bathara Katong Adipati Ponorogo dan beliau adalah putra ke-22 dari 90 bersaudara, kemudian Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu : Raden Ayu Giyanti Subalaksana itri dari Pangeran Selarong ( Pangeran Purboyo ), dan Ki Gede Honggowono ayah dari Ki Gede Hanggowono Seco Menggolo Jumeneng Tumenggung Reksonegoro Ke-I ( Pertama ) yang dimakamkan di desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru.


Ki Gede Sebayu banyak pengabdiannya pada Pemerintah Kanjeng Sultan Adiwijaya, penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.

Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng Panembahan Senopati untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.

Dengan restu dari Panembahan Senopati, Ki Gede Sebayu pergi ke tlatah Tegal yang diikuti oleh 40 pasangan keluarga terpilih yaitu mereka yang memiliki keahlian di berbagai bidang keterampilan. Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan akhirnya rombongan Ki Gede Sebayu sampai di tepian Kali Gung dan disambut oleh Ki Gede Wonokusumo, yaitu sesepuh dan penanggung jawab makam Pangeran Drajat (Mbah Panggung).


Mengetahui tujuan mulia dari kedatangan Ki Gede Sebayu ke tlatah Tegal yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Ki Gede Wonokusumo dengan tulus ikhlas membantu menata rombongan Ki Gede Sebayu dengan menitipkan keluarga-keluarga dari rombongan itu ke daerah-daerah sepanjang Kali Gung sesuai bidang-bidang keahlian masing-masing dan berakhir di Dukuh Karangmangu Desa Kalisoka ( Kecamatan Dukuhwaru – sekarang ) sesuai bidang keahlian yang dimilikinya.

Kedatangan keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu di masing-masing daerah itu dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan daerahnya. Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat, antara lain : pembudidayaan tanaman pangan, kerajinan emas dan tenun kain selendang. Di bidang kerohanian, didirikan pondok pesantren yang sampai sekarang masih terkenal.


Menyikapi perkembangan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang belum tampak nyata, sedangkan sebagian besar bermata pencaharian tani ladang ( tanah kering ) yang hasilnya kurang menguntungkan.

Ki Gede Sebayu beserta 2 ( dua ) orang pengikut setianya, Ki Sura Lawayan dan Ki Jaga Sura berjalan sepanjang tepi Kali Gung ke selatan sampai di suatu igir gunung selapi. Dan muncullah niat membangun bendungan untuk mengalirkan air dari Kali Gung ke persawahan.

Perkembangan selanjutnya, dengan keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh Ki Gede Sebayu beserta pengikut dan masyarakat sekitarnya dalam membendung Kali Gung hingga menjadi sumber pengairan bagi pertanian di daerah sekitarnya yang kemudian disebut Bendungan Danawarih, daerah Tegal yang maju pesat ini, gaungnya sampai ke negeri Mataram.

Kemudian atas jasa-jasa Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah Tegal, oleh Ingkang Sinuhun Kanjeng Panembahan Senopati Sayyidin Penata Gama Ratu Bimantoro di negeri Mataram diangkat menjadi Juru Demang setarap dengan Tumenggung di Kadipaten Tegal pada Rabu Kliwon tanggal 18 Mei 1601 Masehi atau tanggal 12 Robiul Awal 1010 Hijriyah atau 1524 Caka.

Dengan berpedoman inilah disepakati sebagai HARI JADI KABUPATEN TEGAL dan sekaligus KI GEDE SEBAYU dijadikan tokoh pendiri atau anutan masyarakat Kabupaten Tegal karena:

1. Taat dan taqwa kepada Allaw SWT

2. Sebagai tokoh pembangunan pertama di tlatah Tegal

3. Ki Gede Sebayu adalah pemimpin kharismatik

4. Merupakan cikal bakal pemimpin di tlatah Tegal yang banyak menurunkan Bupati di Kabupaten Tegal dan Brebes.

5. Makam Ki Gede Sebayu di wilayah Kabupaten Tegal yaitu Desa Danawarih...................................

wali pojok blora

MAKAM SUNAN POJOK
Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota Blora, tempatnya di sebelah Selatan alon-alon Kota Blora. Dari data yang diperoleh bahwa makam Sunan Pojok adalah makam SUROBAHU ABDUL ROHIM, ia adalah seorang Perwira di Mataram yang telah berhasil memadamkan kerusuhan di pesisir utara ( Tuban). Sekembalinya dari Tuban jatuh sakit dan meninggal dunia di Desa POJOK ( Blora ). Pangeran SUROBAHU ABDUL ROHIM dikenal pula dengan sebutan Pangeran Pojok, makam tersebut sampai sekarang masih dipelihara dan dihormati oleh masyarakat. Kemudian karen jasanya , maka puteranya yang bernama JAYA DIPA diangkat menjadi Bupati Blora yang pertama ( dinasti Surobahu Abdul Rohom ), setelah wafat digantikan putranya JAYA WIRYA, kemudian JAYA KUSUMA yang keduanya setelah wafat dimakamkan di lokasi makam Pangeran Pojok Kauman. Makam ini sering dikunjungi oleh masyarakat dalam dan luar kota terutama malam Jumat Pon, dan pada Bulan Suro diadakan Khol yang dihadiri peziarah dari berbagai wilayah di Blora....................................................................................................................PMAKAM KH.ABDUL KOHAR
Makam K.H. ABDUL KOHAR, terletak di Desa Ngampel Kecamatan Blora + 10 Km kearah Utara Kota Blora ( jurusan Blora - Rembang ). K.H. ABDUL KOHAR adalah keturunan dari Kasultanan Demak, yaitu RADEN TRENGGONO. Semasa hidupnya K.H. Abdul Kohar selalu mengembara untuk memperdalam ilmu Agama Islam, akan tetapi setelah bertemu dengan Kyai NOOR FEQIEH disarankan supaya menetap disuatu tempat, yang akhirnya menetap,di Desa Ngampel dengan memulai babat hutan, mendirikan Masjid, Pondok Pesantren dan lain-lain. K.H. Abdul Kohar akhirnya meninggal dan dimakamkan di Desa Ngampel dan sampai sekarang selalu diperingati setiap tanggal 15 Suro Tahun Jawa.

MAKAM JATI KUSUMO DAN JATI SWARA
Makam Jati Kusumo dan Jati Swara terletak di Desa Janjang Kecamatan Jiken + 31 Km. ke arah Tenggara dari Kota Blora atau + 10 Km. dari Kecamatan Jiken. Mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut cerita Rakyat Pangeran Jati Kusumo dan Pangeran Jati Swara adalah dua bersaudara putera dari Sultan Pajang.

MAKAM MALING GENTIRI
Makam maling Gentiri terletak di Desa Kawengan kecamatan Jepon + 12 Km kearah timur dari kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut buku karya Sartono Dirjo (tahun 1984) serta buku tradisional Blora karya Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (tahun 1996) serta hasil dari cerita rakyat, Gentiri adalah anak dari Kyai Ageng Pancuran yang pada saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi (sakti mondroguo), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya. Namun dia suka mencuri (maling) bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling gentiri dujuluki Ratu Adil yang dianggak sebagai tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hokum dia tinggalakan dan akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Desa Kawengan Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak masyarakat setempat atau dari daerah lain yang dating ke makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah) 

MAKAM PURWO SUCI NGRAHO KEDUNGTUBAN
Makam Purwo Suci terletak di dukuh Kedinding Desa Ngarho kecamatan Kedungtuban + 43 Km kearah tenggara dari kota Blora, mudah dijangkau kendaraan roda dua ataupun roda empat sampai kejalan desa, serta jalan kaki sambil menikmati pemandangan alam untuk mencapai ke makam + 500 m karena letaknya berada di puncak perbukitan dengan luas areal + 49 m2. menurut informasi atau cerita dari masyarakat setempat, makam Purwo Suci adalah makam seorang Adipati Panolan sesudah Ario Penangsang bernama Pangeran Adipati Noto Wijoyo. Didalam halaman tersebut juga terdapat makam Nyai Tumenggung Noto Wijoyo. Karena jasa-jasanya yang sampai saat ini masih dikunjungi masyarakat untuk tujuan tertentu bahkan pernah dipugar oleh Bupati Blora pada tahun 1864 dengan memakai sandi sengkolo, Karenya Guna Saliro Aji (1864) menurut cerita yang panjang makam ini cocok dikunjungi wisatawan yang senang olah roso dan olah kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.

sesepuh wono sobo

Makam Syekh Umar Sutadrana salah satu makam yang terkenal di WonosoboBeliau datang dari Arab, keturunan ke-31 Nabi Muhammad. Datang ke Indonesia tahun 1820 bersama ayahnya Syekh Abdul Rahim. Sebagai pedagang sekaligus menyebarkan agama Islam. Menginjakkan tanah Jawa pertama kali di Jogjakarta,”ujar Patah Tjipto Suwiryo mengawali ceritanya.



Nama aslinya hanya Umar, kemudian membaur dengan orang Jawa ditambahi Sutadrana. Lantas ia bersama ayahnya menjadi prajurit Mataram. Berjuang melawan penjajah Belanda di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Ketika Belanda berhasil memukul perlawanan Pangerang Diponegoro, prajuritnya kocar-kacir. Syekh Umar dan ayahnya lari ke Wonosobo. Bersembunyi di suatu tempat yang kini disebut Sudagaran. Hingga memiliki 6 anak dari istri yang berasal dari Jogja.



“Enam anaknya itu bernama Eyang Jami, Eyang Mangundrana, Noyodrono, Singodrono, Surodipo, dan Abdullah.   
..................................................................Di Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah terdapat sebuah makam kuno. Konon, makam tersebut bersemayam jazad seorang tokoh pembawa alirah Tarekat Naqsbandiyah pertama kali di tanah Jawa. Syekh Abdullah Qutbudin namanya. Dia berasal dari Iran. Menyebarkan Islam dengan membawa bendera tarekat yang kemudian menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan diyakini, Candirejo sendiri merupakan desa Islam pertama di Jawa karena kedatangan Syekh Abdullah Qutbudin ini....makam ini yg menemukan gus dur......................................................................................................................................Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng................................Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng.Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng..........''''''''''''''''''''''''''''''''',Makam Tumenggung WirodutaDusun Kalilusi yang masuk wilayah Desa Pecekelan Kecamatan Sapuran memiliki kaitan erat dengan sejarah Kabupaten WonosoboTokoh yang paling berperan adalah Kyai Wiraduta. Bersama 2 wira lainnya yakni Kyai Wirabumi dan Wiradhaha membuka rimba raya yang angker menjadi sebuah perkampungan penduduk.


“Wiraduta merupakan keturuan Prabu Brawijaya 5 Majapahit. Beliau masih berhubungan darah dengan Setjonegoro dan Selomanik. Tumenggung Wiraduta bersama saudara dan kawan-kawannya lari ke wilayah Wonosobo setelah dikejar-kejar pasukan Belanda. Dalam perang gerilya tersebut, Wonosobo dipilih menjadi tempat persembunyian karena berhutan belantara lebat yang sulit terjangkau. Bersama pasukannya, Pangeran Diponegoro sempat melewati Desa Pecekelan. Sedangkan Widuta bersama Wirabumi dan Wiradhaha membuka hutan belantara tersebut menjadi perkampungan. Wilayah tersebut lantas menjadi pusat pemerintahan yang dipimpin oleh Tumennggung Wiraduta. Pusat kekuasaan tersebut kemudian dipindah ke Ledok yang sekarang bernama Desa Plobangan Kecamatan Selomerto.Di dalam cungkup yang terbuat dari papan kayu terbaring jazad Tumenggung Wiraduta, istrinya dan sang ibu. Makam masih alami, ditandai dengan batu nisan dengan tanah yang rata. Sedangkan di luar adalah makam Kyai Blendang, Kyai Dalem, dan Kyai Diebeng juga ada Den Bagus Gendor. Komplek makam di dekat SMK Sapuran tidak terlalu jauh dari Jalan Raya Sapuran.......................................................................................Makam Tumenggung Jogonegoro terletak di desa Pekuncen, Selomerto. Tumenggung Jogonegoro merupakan seorang Bupati Kerajaan Mataram, mula-mula sebagai kepala prajurit ia bernama Ng. Singowedono. Karena jasanya terhadap kerajaan beliau mendapat gelar Raden Tumenggung Jogonegoro. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang perang Diponegoro atau pada era pemerintahan Sultan Sepuh atau Sultan Hamengku Buwono II.Tumenggung Jogonegoro sendiri merupakan cucu dari pendiri Wonosobo yaitu Kyai Karim.Pada waktu perang Diponegoro meletus. Tumenggung Jogonegoro bergerak dan bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dan melakukan siasat perang gerilya. Dalam perang ini sampailah Tumenggung Jogonegoro dan prajuritnya di daerah Plabongan. Plabongan menjadi ibu kota Kabupaten Wonosobo pada waktu itu dan dikenal sebagai Wonosobo Plabongan. Di tempat inilah Tumenggung Jogonegoro bertahan hingga mangkatnya. Beliu wafat pada hari Kamis Pon, 6 Februari 1755.Di kompleks makam Pekuncen tidak hanya makam Tumengung Jogonegoro saja yang berada di sana namun juga makam keluarga dan para pembantu setianya seperti Kyai Pulanggeni dan Kyai Sanggageni................................................................makam Kyai Nurizal di Dusun Lempong Desa Kalierang Kecamatan Selomerto.Kyai Nurizal atau warga setempat menyebutkan Mbah Nurizal konon merupakan teman seperjuangan Tumenggung Jogonegoro dalam melawan penjajah. Dugaan cukup masuk akal. Antara makam Jogonegoro dan Mbah Nurizal lokasinya tak begitu jauh

dari seh almagribi

Kita ambil mulai dari Syekh Jamaludin Husen dahulu. Beliau dengan rombongannya berlabuh melalui Pasai. Beliau kelahiran dari Indo-Cina, daerah Kamboja, Vietnam dan sekitarnya. Ibu beliau dari Champa ayah beliau Ahmad Syah Jalal adalah kelahiran India dan ayah Syah Jalal adalah menantu raja India Naser Abad. Ahmad Syah Jalal menikah dengan putri raja Champa. Putri Champa itu melahirkan Syekh Jamaludin Husen.dari Jamaludin Husen beliau mempunyai anak 11. Itulah kakek dari wali 9. Perjalanan Syekh Jamaludin dengan para ulama yang dari Timur Tengah. Ada juga yang dari Maroko. Maka rombongan tersebut ada yang menyebut al Maghrobi-al maghrobi. Rombongan tersebut yang pertemuannya Dipasai langsung menuju Jawa, tepatnya Semarang.



Dari Semarang meneruskan perjalannya ke Trowulan-Mojokerto. Karena akhlaknya dan budi pekertinya yang baik beliau sangat di hormati di Maja Pahit. Meskipun beda agama pada waktu itu, beliau mendapat beberapa sebidang tanah dari Gajah Mada. Terutama membuat sebuah padepokan pendidikan yang mana santri beliau itu tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Selain itu juga karena sangat popular maka disbut syekh Jumadil Kubro. Rombongan beliau berpencar dalm menjalankan tugasnya masing-masing. Yang terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, sebagian kecil ke Jawa Barat. Dan makam-makam beliau dinamakan almaghrobi-al maghrobi. Kalau makam almaghrobi itu banyak sekali, pantas, karena orangnya bukan satu tapi banyak.

Rombongan kedua dipimpin oleh dua tokoh.yang pertama Malik Ibrohimdan Sayid Ibrohim Asmoro qondi atau Pandito Ratu. Ketika itu, rombongan Malik Abdul Ghofur yang juga merupakan kakak Malik Ibrohim yang disebut juga Almaghrobi-almaghrobi. Rombongan ini lebih banyak dari sebelumnya. Malik Ibrohim itu cucu dari Syekh Jumadil Kubro. Rombongan ini juga berpencar, dan diantara robongan-rombongan tersebut ada yang ke Pekalongan sekitar 25 al Maghrobi. Makam beliau juga terpencar-terpencaer dengan nama Maulana Maghrobi.

Diantaranya Prabu Siliwangi memanggil beliau itu kakek (pernahnya).Jadi Maulan Maghrobi itu lebih tua dari Prabu Siliwangi. Diantara anggota rombongan ada yang wafat satu orang. Yang wafat ini dimakamkan di pesisir Semarang. Juga dikenal dengan Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kali Gawe. Dan ada juga yang wafat di Pekalongan, namanya yang pertama Syarifudin Abdullah, Hasan alwi al Quthbi. Beliau bersama rombongannya tinggal di dareh Blado Wonobodro. Terus yang dua orang lagi Ahmad al Maghrobi dan Ibrohim Almaghrobi tingal di daerah Bismo. Tiga tokoh tersebut dimakamkan di Bismo dan Wonobodro. Yang di Bismo membangun masjid di Bismo yang di Wonobodro membangun masjid di Wonobodro. Terus yang disetono Abdul Rahman dan Abd Aziz Almaghrobi.

Diantaranya lagi Syekh Abdullah Almaghrobi Rogoselo, Sayidi Muhammad Abdussalam Kigede Penatas angina. Jadi Almaghrobi tersebut empat generasi; generasi Jamaludin al Husen, generasi Ibrohim Asmoroqondi dan generasi Malik Ibrohim dan generasi Sunan Ampel. Termasuk yang dimakam kan di Paninggaran, daerah Sawangan; Wali Tanduran. Beliau itu termasuk generasi kedua walaupun bukan golongan al Maghrobi. Beliau sangat gigih dalam syi’ar Islam di Paninggaran. Kalau dalam bahasa Sunda Paninggaran itu berarti cemburu.
Di Pekalongan ini masih terpengaruh, sebagian Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur. Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit terus kebarat ikut Pajajaran kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-bahasa sunda seperti ada nama tempat, Cikoneng Cibeo di daerah sragi.

Kalau kita melihat pertumbuhan islam pada waktu itu yang dibawa oleh beliau-beliau belum al Magrobi-Almaghrobi. Yang 25 tersebut sebagian dimakamkan di Wonobodro, sebelum wali 9 yang masyhur itu, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dll, itu sudah ada wali sembilan seperti lembaga wali Sembilan jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali Sembilan itu seperti Wali Abdal, Wali Abdal itu ada 7. Wafat satu akan ada yang menggantikannya, wafat satu ganti, wafat satu ganti dan seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun demikian. Termasuk Kigede Penatas Angin itu wali 9, yang Wonobodro juga bagian dari wali Sembilan, tentunya generasi sebelum wali Sembilan yang masyhur itu.

Ki Gede Penatas Angin adalah yang mempertahankan Pekalongan dari serangan Portugis. Pada waktu wali 9 dijaman Sunan Gunung Jati diantaranya sudah ada yang masuk ke Pekalongan. Juga yang namanya Kiyai Gede Gambiran di pesisir pantai. Tapi karena terkena erosi sekarang Gambiran sendiri sudah tidak ada. Ada lagi Sayid Husen didaerah Medono dikenal makam Dowo Syarif Husen, beliau itu juga hidup dijaman wali 9. Diantara tahun 1590 an, sebelim masuk pejajahan Belanda.Pekalongan walaupun tidak banyak disebut dalam sejarah Demak tapi dekat hubungannya dengan kerajaan Demak. Pekalongan tahun1900 lebih seadikit pelabuhannya didaerah Loji daerah hilir. Makanya didaerah sekitar nama-nama desanya seperti Bugis; Bugisan, Sampang; Sampangan, itu diantaranya. Pekalongan pada waktu itu sudah mulai maju. Dalam pendidikan agama, ekonomi dan lain s sebagainya. Di Dieng dan daerah sekitarnya ada beberapa Candi. Itu menunjukkna kultur di Pekalongan sudah maju. Di daerah Reban sampai Blado itu pernah ditemukan situs air langga. Itu semua menunjukan kalau Pekalongan sudah tua, hanya kita belum menemukan bukti secara kongritnya. Pekalongan pada waktu itu sudah maju, diantara buktinya pada jaman Sultan Agung Pekalongan pada waktu itu sudah mendapat kepercayaan menjadi tempat lumbung-lumbung padi atau beras.

Dan diantara tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu, di adalah tokoh yang di makamkan di Sapuro, yaitu Ki Gede Mangku Bumi sayang makamnya sudah rusak. Jaman almarhum Pak Setiono saya masih sempat meminta untuk menulis tentang tokoh itu. Beliau meninggal pada tahun 1517 Masehi, makamnya di Sapuro belakang masjid. Ada lagi walaupun aslinya dari Bupati Pasuruan Raden Husen Among Negoro, beliau meninggal tahun 1665 dimakamkan di belakang masjid Sapuro. Beliau adalah Putra Tejo Guguh, Putra bupati Kayu-Gersik ke dua. Beliau ini yang menurunkan bupati Pekalongan yang pertama. Pada waktu itu penduduk sudah ramai disusul dengan beberapa tokoh yang lain seperti Ki Hasan Sempalo atau Kyai Ahmad Kosasi adalah menantu beliau.

Bupati Pekalongan yang namanya Adipati Tanja Ningrat meninggal tahun 1127 H. Dimakamkan di Sapuro juga sejaman dengan Jayeng Rono Wiroto putra Amung Negoro. Kiyai Gede Hasan Sempalo. Dan di Noyontaan (Jl. Dr. Wahidin) ada Kiyai Gede Noyontoko hingga desa tersebut disebut Noyontaan, sebabwaktu tokoh yang membuka adalah Ki Gede Noyontoko. makamnya di dalam Kanzus Sholawat. Dulu di belakang rumahnya Pak Teko meninggal tahun 1660 M. dan banyak lagi seperti Wali Rahman di Noyontaan, dulu di Tikungan jl toba atau di depan pabrik Tiga Dara sekarang makam nya sudah hilang.

Sesudah pekalongan mulai rame datang pula tokoh-tokoh yang popular datang dari Hadramaut Yaman beliau adalah Habib Abubakar bin Toha. Habib Abu Bakar lahir didaerah Tarim namanya daerah Gorot. Makanya kayu geritan itu berasal dari kata Gorot. Sekitar abad 17 sebelum masuk Indonesia beliau berdakwah di India, Malaysia, Malaka, Pasai lalu Kalimantan. Beliau pernah tinggal di sebuah desa namanya Angsana daerah Kalimantan Selatan dan masuk ke Surabaya menuju ke Jogja. Beliau dikenal sebagai tokoh pendamai; baliaulah yang menyatukan menyelesaikan sengketa-sengketa. Beliau sangat tinggim ilmunya dan sangat di segani. Beliau mendapatkan gelar Penembahan Tejo Hadi Kusumo. Setelah itu beliau masuk di Pekalongan tinggal di daerah Karang Anyar.

Habib Abu bakar masuk daerah ini karena urutanya dekat dengan Ki Hasan Cempalo, beliau mendirikan padepokan. Kiyai Bukhori salah seorang tokoh pernah menceritakan kalau dijaman nabi beliau seperti sahabat nabi, maksudnya kedudukan kewaliaanya sangat tinggi beliau termasuk golongan Bin Yahya. Pertamakali masuk ke daerah wonopringgo. Guru beliau banyak sekali diantaranya pengarang kitab Nashoih Addiniyah; al Habib Abdullah bin Alwi al Hadad. Dan murid Habib Alwi Al Hadad di Indonesia banyak sekali.

Habib Abu Bakar meninggal tahun 1130. Gurunya adalah paman dan ayahnya sendiri yang sangat popular kewaliannya dan banyak lagi guru-guru yang lain. Dan murid-murid beliau di Pekalongan dan luar Pekalongan banyak sekali. Termasuk kakennya Kyai Nurul Anam dimakamkan di Kayu Geritan juga. Daerah dakwahnya terpencar. selain mengajarkan ilmu agama juga ilmu yang lainnya seperti ilmu kelautan dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau dan kakaknya; bertiga, Sayid Abdurahman, Sayid Abu Bakar dan sayyid Muhammad Qadhi.

Sayyid Abdurahman di Cirebon dan Sayyid Muhammad Qodli di Semarang Terboyo. Beliau mendapat gelar banyak selain sunan Qodli juga gelar Ki Gede Semarang. Beliau; Syekh Abu Bakar bin Toha juga sangat gigih memimpin dalam melawan Belanda. Ketiga kakak-adik tersebut hampir sama dalam pola dakwahnya, dan juga sama-sama sangat gigih dalam melawan Belanda. Selain makam beliau di Kayu Geritan juga ada makam kasepuhan lainnya, diantaranya Qodli Shon’a, juga dua pamenang atau prajurit dari Mataram.

Lalu kakenya dan ayahnya Nurul Anam dan tokoh ke bawah Kiyai Utsman, Kiyai Asy’ari Karang Anyar. Beliau itu juga dimakam kan di Kayu geritan. Kalau kiyai utsman sebelah barat Kiyai Asy’ari sebelah timur. Tokoh-tokoh dahulu yang ziarah ke Kayu Geritan ini adalah tokoh-tokoh yang top semuanya. Habib Hasyim selain sering ziarah ke makam Habib Abu Bakar bin Thoha ini, juga sumbernya sejarah makam ini. Selain sumbernya dari beliau, saya juga mengambil dari beberapa kitab diantaranya kitab punya Sayyid bin Tohir Mufti Johor Malaysia. namanya Alatho’if, dan buku-buku atau kitab-kitab silsilah. Jadi ada bukti sejarahnya dan jelas kita tidak ngawur dalam hal ini